A Day as a Fisherman with Local Alike
Setelah beberapa minggu sibuk berkutat dengan rekrutmen MT 2016, akhirnya saya bisa ambil napas sejenak dengan berlibur ke Bangkok. Sebenarnya ngga sepenuhnya liburan tapi ‘learning trip’ yang dibiayai kantor. Yes, dibiayai kantor sebagai hadiah juara DYSE 2015. Di perjalanan ke negeri gajah ini saya mengawasi adek-adek Dreamdelion, tim juara DYSE 2015 dari UGM, supaya mereka ngga nakal di Bangkok tripnya terarah sesuai tujuan.
Satu kegiatan yang paling menarik di trip selama 4 hari tersebut adalah social trip bersama Local Alike. Local Alike adalah organisasi social entrepreneurship yang bergerak di bidang travel. Apa bedanya dengan travel agent biasa? Bedanya, travel yang dilakukan sejalan dengan community development. So, bisnis yang dilakukan Local Alike turut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lokasi yang dikunjungi.
Saya mau cerita trip yang saya lakukan, “A Day as a Fisherman”.
Trip satu hari ini dimulai jam 9 pagi dengan meeting point di BTS (Bangkok Train Station) Phra Khanong. Di sana kita disambut tim Local Alike. Salah satunya bernama Sudarut Achawantakul, yang sebelumnya, karena namanya, saya kira adalah mas-mas. Ternyata dia wanita sekece SNSD. Jadii, selama ini saya saling berbalas email dengan si manis bernickname “Min” ini. Anyway let’s skip this part.
Dari Phra Khanong, kita menyusuri jalan kecil, serasa di sisi lain kota ini. Setelah berjalan 15 menit, kita tiba di stasiun. Jauh dari BTS atau pun KRL di Jakarta, stasiun ini sama sekali ngga mewah. Sekelilingnya mirip pasar, penuh jajanan. Bahkan awalnya saya pikir rel disana udah ngga terpakai. Sampai akhirnya kereta lewat, baru saya percaya kalau itu rel beneran.
Perjalanan di kereta makan waktu sekitar 30 menit. Sama seperti tampilan keretanya, cara jalannya pun ngga mulus. Penuh goyangan dan kecepatan yang ngga teratur. Bahkan ranting pohon bisa sedikit masuk ke jendela saat kereta melaju. So jangan berpikir buat ngeluarin kepala dari jendela – except you like to live dangerously.
Turun dari kereta, kita melanjutkan perjalanan dengan tuktuk dan perahu ke arah lautan Bangkok. Sangat menyenangkan bisa menghirup udara segar sepanjang perjalanan air tersebut. Ngga ada polusi udara. Satu hal menarik, sekaligus miris, adalah di tengah lautan kita bisa lihat tiang listrik dan gapura. Tahu kenapa? Ternyata karena belasan tahun yang lalu, area ini adalah daratan. Kini menjadi satu dengan laut karena tenggelam – dampak dari global warming.
Akhirnya saya dan teman-teman tiba di rumah Uncle Sorn. Uncle Sorn ini adalah nelayan yang sehari-harinya bekerja sebagai petani kerang. Tampilannya kurus, tua, tapi masih penuh tenaga. Dia tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas. Di halamannya itu saya dan yang lain menyantap seafood hasil masakan keluarga Uncle Sorn – dan itu adalah makanan paling enak selama saya di Bangkok.
Akhirnya saya dan teman-teman tiba di rumah Uncle Sorn. Uncle Sorn ini adalah nelayan yang sehari-harinya bekerja sebagai petani kerang. Tampilannya kurus, tua, tapi masih penuh tenaga. Dia tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas. Di halamannya itu saya dan yang lain menyantap seafood hasil masakan keluarga Uncle Sorn – dan itu adalah makanan paling enak selama saya di Bangkok.
Sembari makan, Uncle Sorn bercerita kisahnya. Katanya, dulu banyak yang berkunjung ke sini. Desa ini terkenal sebagai salah satu objek wisata yang ramai. Dari para pengunjunglah kesejahteraan warga desa ini meningkat. Sampai pada satu waktu, limbah pabrik mulai mencemari air di desa tersebut. Ikan mulai mati. Burung mulai migrasi ke tempat lain. Pengunjung mulai bepergian. Kesejateraan masyarakat desa menurun. Inilah yang menjadi latar belakang Local Alike menjadikan desa ini sebagai salah satu objek travelnya: untuk mengembalikannya menjadi desa wisata.
Setelah kenyang menyantap seafood, kita siap untuk agenda utama: cockles farming! Kita diajak masuk ke kolam penuh lumpur. Awalnya ragu sih masuk ke lumpur – tapi katanya berani kotor itu baik kan? So masuklah saya ke lumpur yang katanya hanya setinggi paha. Ternyata hingga dada.
Menangkap kerang itu gampang-gampang susah. Tinggal memasukkan tangan ke lumpur dan meraba-raba. Kalau lagi hoki, bisa dapat dua sekaligus dalam satu kali ambil. Kalau lagi ngga hoki, well, dapat lumpurnya saja. It was fun – rasanya seperti anak kecil yang sedang bermain di tempat penuh lumpur. It brought the kid in us. Bedanya dengan waktu kecil dulu, sekarang sambil beraktivitas sambil diselingi foto-foto cantik.
Setelah puas bertani kerang, sederet kamar mandi siap menerima saya dan lainnya yang penuh lumpur. Uncle Sorn dengan baik hati memberi handuk ke saya yang waktu itu lupa bawa handuk. Dengan kondisi bersih dan wangi, kita pamit ke Uncle Sorn dan keluarga. “Kah puun krap”, ujar kami ke Uncle Sorn.
Perjalanan pulang saat itu diwarnai dengan diskusi seru. Tim Dreamdelion menceritakan social businessnya ke tim Local Alike. Dengan antusias, Bo dari tim Local Alike memberi feedback yang insightful. Tidak melulu bicara visi dan tujuan, dia juga berbagi konsep nyata, mulai dari cara melakukan ‘assesment’ terhadap suatu desa, cara memasukkan ide ke masyarakatnya, hingga membuat rencana keberlanjutannya. Untuk saya yang awam mengenai social development, banyak hal baru yang saya pelajari. After all, it’s really a learning trip.
Sebagai penutup, untuk kamu yang berencana liburan ke Bangkok dan ingin pengalaman berbeda, coba deh kontak Local Alike. Ada banyak trip yang mereka tawarkan dengan keunikannya masing-masing. From my last experience, it will be a unique and exciting one.
Wanna try?
Wanna try?
Komentar
Posting Komentar